Kategori
Society

Pilihan untuk (Tidak) Mengenakan Jilbab

Sebagai seorang muslimah yang kebetulan tidak menggunakan jilbab, saya cukup sering menerima pertanyaan—bahkan sindiran—kenapa saya tidak mengenakannya? Kapan saya akan mengenakannya? Mungkin bagi sebagian orang pertanyaan ini terdengar hanya basa-basi belaka, tetapi jujur bagi saya kadang-kadang terasa menyebalkan.

Saya sudah cukup memahami bahwa tidak semua pertanyaan dari orang lain adalah bentuk kepedulian. Pertanyaan itu seringnya menjelma jadi benih-benih nasihat sok tahu atau hanya sekadar untuk memenuhi hasrat kepo saja. Itulah sebabnya, saya hampir tidak pernah mau ikut campur dengan urusan orang lain. Apalagi urusan yang berbalut agama dan pilihan seseorang. Tidak ada untungnya bagi saya. Yang ada, saya malah terjebak dalam pola pikir homogen yang cenderung bias.

Namun, melihat betapa riuhnya warganet membicarakan Rachel Vennya yang dikabarkan melepas jilbab dan betapa jahatnya kolom replies yang bertengger di cuitan Syahar Bahu membuat saya gemas sekaligus prihatin. Bagi saya, membicarakan perubahan penampilan seseorang dan menjadikannya bahan pergunjingan atau celaan itu nggak penting banget.

Lagipula untuk apa? Apakah mengomentari penampilan seseorang tanpa jilbab membuat diri Anda terlihat lebih baik? Apakah menghakimi pilihan dan pengalaman spiritual orang lain juga membuat Anda terlihat lebih tinggi derajatnya?

Kenyataannya, tidak sedikit ulama yang memiliki penafsiran berbeda dalam memaknai kewajiban memakai jilbab dan batasan soal aurat perempuan. Beberapa ulama klasik umumnya masih mewajibkan aurat dengan batasan muka dan telapak tangan. Menurut mereka, jilbab merupakan pakaian yang menunjukkan rasa iman kepada Allah SWT. Maksudnya, pakaian yang tidak memamerkan aurat untuk menjadi tontonan laki-laki.

Di sisi lain, menurut pemahaman yang berkembang belakangan, jilbab tidak lagi dimaknai sebagai sebuah kewajiban seiring dengan penafsiran baru tentang aurat perempuan. Batasan aurat perempuan pun dibedakan menjadi dua, yaitu aurat dalam salat dan aurat di luar salat. Aurat dalam salat adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan, aurat di luar salat merupakan pakaian yang sopan, layak, dan tidak menarik perhatian laki-laki.

Selain itu, ada juga ulama seperti Quraish Shihab yang berpendapat bahwa tafsir perintah menutup aurat yang termaktub dalam QS Al-Ahzab: 59 bukan untuk memerintah seorang muslimah memakai jilbab. Meski ayat tersebut mengandung perintah, tetapi perintah ini mengandung maksud “sebaiknya” bukan “seharusnya”. Pun beliau berpendapat bahwa tidak semua perintah merupakan perintah yang sifatnya wajib.

Memang ada dua perbedaan mendasar yang melatarbelakangi pendapat ulama terkait dengan penggunaan jilbab, tapi sebagai umat kita boleh saja mengikuti salah satu pendapat ini sesuai dengan dengan kemantapan hati. Toh, menafsirkan sebuah ayat bukanlah pekerjaan yang mudah dan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Benar atau tidaknya, wallahu’alam bissawab.

Masalahnya, masyarakat kita kerap kali melabeli perempuan yang tidak berjilbab karena kurang iman. Padahal tidak ada korelasinya antara tingkat kesalehan seseorang dengan pakaiannya. Sebagai seorang individu dan subjek yang merdeka, perempuan muslimah seharusnya bebas saja memilih hendak berjilbab atau tidak.

Jika keinginan untuk berjilbab muncul, pastikan lagi bahwa itu benar-benar atas pilihan sendiri, bukan karena paksaan apalagi ancaman dari orang lain. Kalau memilih tidak berjilbab ya tidak apa-apa, tetapi tolong hargai juga pilihannya. Apalagi mengingat perjalanan spiritual seseorang yang mungkin tidak mudah.

Dulu saya pernah merasa “minder ” hanya karena tidak mengenakan jilbab di antara teman-teman saya. Saya merasa sendirian dan seolah-olah kurang punya iman. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa berusaha tampak saleh di hadapan orang lain? Bukankah itu sama saja dengan menipu diri sendiri?

Seiring dengan berjalannya waktu, pemahaman saya akan jilbab kian berkembang. Bagaimanapun juga, jilbab merupakan hasil konstruksi budaya sebagai wujud pemaknaan terhadap teks Al Quran. Oleh sebab itu, menurut saya, mengenakan jilbab atau tidak seharusnya bukan menjadi masalah karena semua kembali pada keyakinan diri masing-masing. Bagus kalau sudah mengenakan jilbab, tapi jangan menghakimi perempuan-perempuan yang memilih untuk tidak mengenakannya.

Meski saat ini saya memilih tidak mengenakan penutup kepala, saya tetap berpegang teguh pada batas kesopanan yang wajar bagi aurat perempuan. Dan saya pikir hal ini juga selaras dengan makna “Yang biasa nampak daripadanya” dalam Surat An-Nur ayat 30. Berpenampilan biasa saja. Yang penting layak dan sesuai dengan standar kepantasan di masyarakat.