Kategori
Kapital

Konsep Bekerja di Rumah Berbahaya

 


Sebenarnya sudah banyak yang menjelaskan potensi bahaya dari konsep “bekerja di rumah”. Tapi kebanyakan hanya sampai pada pembahasan tentang waktu kerja yang makin semrawut, tingkat keresahan yang semakin tinggi, dan semakin tipisnya batas antara waktu kerja dan rehat. Permasalahan ini penting juga tentunya. Namun sebetulnya ada masalah yang lebih tragis lagi.

Namun demikian, sebelum bicara soal masalah yang lebih tragis tersebut, saya ingin bercerita sedikit tentang keburukan Gojek. Karena kasusnya mirip.

Masalah terbesar Gojek itu bukan karena ia menyingkirkan bentuk usaha lama (ojek pangkalan, misalnya). Efek buruk terbesar dari model bisnis yang semacam ini ialah pelimpahan atau pengalihan modal bisnis kepada pekerja. Gojek tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pengadaan kendaraan bermotor, bahan bakarnya, perawatannya, dan asuransinya. Tidak hanya itu, Gojek juga tidak terbebani oleh biaya kesehatan pekerjanya. Singkatnya, Gojek tidak terlibat langsung dalam proses produksi. Ia hanya memanen untung dengan mengintervensi sektor finansial (perputaran uang).

Untuk mengamankan posisinya yang lepas dari berbagai tanggung jawab di atas, Gojek menyebut para driver sebagai mitra, bukan karyawan. Dampaknya, masalah yang muncul saat proses pengantaran penumpang sepenuhnya dilimpahkan ke driver. Gojek tidak mau tahu. Apabila masalah tersebut memberi dampak buruk, maka Gojek langsung memutus hubungan dengan driver secara sepihak.

Tentunya hal yang sama dilakukan oleh Grab.

Sahabat liberal yang menjunjung tinggi kebebasan pasar, kemungkinan besar akan mengernyitkan dahi lalu bertanya, apa yang salah dengan cara tersebut? Kan driver sendiri yang mendaftar ke Gojek. Tidak ada paksaan. Dan tentunya setiap pekerjaan punya risiko dong?

Orang-orang semacam ini selalu menyingkirkan persoalan struktural yang membentuk keadaaan tertentu. Mereka melihat masalah sesempit pikiran cebong dan kampret sewaktu pemilu. Padahal, ada kondisi yang membuat banyak orang terpaksa mendaftar ke Gojek untuk melanjutkan hidup. Mencari pekerjaan semakin sulit. Bisnis konvensional skala kecil non-online tergerus. Situasi seperti ini membuat banyak orang mau tidak mau mengambil kesempatan apapun yang menghasilkan isi perut. Termasuk menjadi driver Gojek.

Baiklah, cukup bercerita tentang Gojek. Mari kembali ke topik.

Saya rasa iming-iming kenikmatan bekerja di rumah mirip sekali dengan misi Gojek. Perusahaan tidak ingin ikut campur di urusan produksi. Ini bisa dipahami karena mengatur proses produksi membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat banyak. Jika modal dan prosesnya dilimpahkan ke pekerja, perusahaan bisa memperlebar jangkauan promosinya.

Bukankah ini bencana? Di tengah kepemilikan aset yang terkonsentrasi di segelintir orang, perusahaan ingin menggunakan aset pekerja yang tidak seberapa untuk menjalankan bisnis!

Bayangkan kamu adalah pengangguran sejak lulus kuliah 3 bulan yang lalu. Kondisi finansial keluargamu pas-pasan sehingga tidak mampu lagi menopang biaya hidupmu. Yang tersisa padamu hanyalah smartphone, laptop standar, ijazah kuliah, dan sedikit uang di dompet dan ATM. Dalam kondisi terdesak, kamu akhirnya mencari lowongan pekerjaan lepas yang sesuai dengan keahlianmu. Syukur, kamu mendapatkan beberapa. Dan semuanya dikerjakan remote (tidak perlu ke kantor). Kamu mengambil semua pekerjaan tersebut karena bayarannya yang cukup kecil. Jadi kalau diambil semuanya, jumlahnya jadi lumayan. Ya walaupun tenggat waktunya berimpitan.

Kamu mengerjakan semua pekerjaan tersebut secara paralel, ganti-gantian. Kadang di warung kopi,  tapi lebih sering di rumah. Atas usahamu yang sedemikian keras sampai mengorbankan jam tidur, seluruh pekerjaan selesai tepat waktu. Kamu pun tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan upah yang dijanjikan. Kamu puas dengan jumlahnya. Apalagi ditambah dengan kebebasan waktu kerja dan banyak waktu yang bisa kamu habiskan di rumah, warung kopi, dan bertemu teman-teman. Kerja terasa mengasikkan.

Kamu tidak sadar, ada banyak biaya yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan tetapi dilimpahkan kepadamu. Sebut saja biaya tempat kerja, listrik, air, internet, dan secangkir kopi. Kamu dieksploitasi dua kali. Pertama, kamu dieksploitasi melalui kerja upahan. Ada nilai lebih dari kerja/produktivitasmu yang diambil juga oleh perusahaan yang memberimu kerja (tentang ini saya menjelaskan lebih detail di sini). Kedua, modal produksi yang kamu punya (tempat, alat kerja, dan bahan pendukung lainnya) dipakai secara gratis oleh perusahaan. Keuntungan perusahaan pun semakin besar karena biaya bisnisnya sangat murah.

Salah satu kampanye “bekerja di rumah” yang bikin saya sebal yaitu yang dihubung-hubungkan dengan emansipasi perempuan, khususnya ibu rumah tangga. Katanya, iklim kerja yang memungkinkan pekerja bekerja di rumah sangat membantu ibu rumah tangga yang masih harus mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak. Kampanye ini biasanya mengutip studi dari World Economic Forum (WEF) yang menyatakan bahwa kontribusi perempuan Indonesia di bidang ekonomi masih rendah. Indeksnya 0,685 (skala 0-1). Dengan indeks ini, Indonesia menempati urutan ke-68 dari 153 negara. WEF menyarankan pemerintah Indonesia berbuat sesuatu agar lapangan pekerjaan yang ramah bagi ibu rumah tangga lebih banyak. Salah satunya dengan mendorong perusahaan lebih cepat menerapkan teknologi agar pekerja bisa bekerja di rumah.

Kelompok yang merasa sedang memperjuangkan kesetaraan gender kemungkinan besar akan sepakat dengan tawaran WEF ini. Sebab, mereka berpikir hal tersebut akan membuat semakin banyak perempuan punya kesempatan memasuki dunia kerja. Bekerja, bagi sebagian besar orang, adalah sarana aktualisasi diri. Perempuan yang bekerja adalah bukti bahwa ia juga bisa berkontribusi aktif dalam roda ekonomi jika diberi kesempatan.

Namun, bagi saya, justru tawaran dari WEF tersebut adalah pertanda buruk dan bahkan akan mendatangkan bencana. Saya bilang pertanda buruk karena ketika ibu rumah tangga sudah harus bekerja agar rumah tangganya hidup nyaman, berarti penghasilan suaminya sudah tidak mencukupi. Hidup keluarga tersebut semakin sulit dan negara tidak memberikan jaring pengaman ekonomi.

Hasutan WEF juga akan berujung pada bencana jika dipraktikkan karena akan semakin banyak tenaga, pikiran, dan softskill manusia yang diambil alih oleh dunia kerja. Softskill perempuan yang sebelumnya bisa digunakan untuk membuat masyarakat menjadi lebih baik, tidak eksploitatif, saling toleransi, saling bantu, sadar gender, memperkuat komunitas, dirampas oleh dunia kerja untuk berproduksi demi menambah kekayaan para pemilik modal yang sudah kaya raya.

Cara berpikir yang seperti ini kemungkinan besar susah diterima oleh banyak orang. Ini wajar karena secara umum manusia sudah kehilangan imajinasi tentang dunia tanpa relasi upah. Jika ingin hidup, maka manusia wajib bekerja. Jika ingin mengaktualisasi diri, dianggap sukses, dianggap berguna, maka jalan yang paling baik adalah bekerja. Inilah pikiran umum yang berlaku saat ini.

Sebagai kelas pekerja, yang terpaksa menukar tenaga fisik, pikiran, dan softskill demi mendapatkan uang untuk hidup, kita perlu merebut kembali imajinasi tentang cara dunia bekerja. Segala iming-iming, walaupun di permukaan terlihat menakjubkan, harus kita periksa apakah akan membawa kita keluar dari jurang eksploitasi atau malah semakin membuat kita bergantung sepenuhnya pada dunia kerja. Termasuk tawaran bekerja di rumah.

Kategori
Infrastruktur

Luas Minimal Rumah Agar Tetap Nyaman Ditempati

Jika lahan yang Anda punya sempit tapi ingin membangun rumah yang nyaman dan sehat, Anda tidak perlu khawatir. Anda bisa merekayasa penggunaan ruang dengan cara mengatur letak ruang dan melakukan kombinasi antar-ruang. Tentu saja untuk merekayasa penggunaan ruang tidak bisa sembarangan. Anda perlu mengetahui rekomendasi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli.

Dalam melakukan rekayasa ruang, para ahli menyarankan agar tetap memperhatikan kebutuhan ruang gerak dan udara segar. Dua hal ini adalah kebutuhan utama kita saat berada di dalam rumah. Kita perlu mendapatkan rasa nyaman saat bergerak dari kamar tidur ke kamar mandi, lalu ke ruang keluarga, terus ke dapur misalnya. Begitu juga dengan kebutuhan udara. Anda perlu mendapatkan udara yang cukup ketika berada di dalam rumah agar Anda sehat, aktivitas lancar, dan dapat beristirahat dengan nyenyak.

Rekayasa ruang salah satunya bisa dilakukan dengan menggabungkan dua ruang yang sebetulnya bisa dibuat menjadi satu ruangan saja. Misalnya, dengan menggabung ruang tamu dengan ruang keluarga. Memang, berdasarkan survei Pusat Litbang Permukiman (2015), 89% masyarakat penghuni rumah sederhana menyatakan bahwa ruang tamu dibutuhkan pada hunian mereka. Akan tetapi, setelah ditanya lebih lanjut, hanya 19% yang menyatakan bahwa setiap hari ada tamu yang berkunjung ke rumahnya. Artinya, sebagian besar orang jarang menggunakan ruang tamunya untuk menerima tamu. Nah, dengan kenyataan ini, Anda sebetulnya bisa menggabung ruang keluarga dengan ruang tamu menjadi satu ruangan saja.

Baca juga: Pengaruh Banjir Terhadap Rajinnya Harga Pangan Naik di Akhir Tahun

Selain itu, efisiensi ruang juga bisa dilakukan dengan menggabung ruang sirkulasi antar-ruang. Misalnya, ruang dapur yang secara konsep memiliki ruang sirkulasi sendiri, apabila ruang sirkulasinya digabung dengan ruang makan dan ruang keluarga maka dapat mengurangi luasan rumah yang dibutuhkan. Hal ini masih sesuai dengan prinsip desain yaitu mengintegrasikan ruang-ruang setiap kegiatan di dalam rumah.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Rekayasa ruang salah satunya bisa dilakukan dengan menggabungkan dua ruang yang sebetulnya bisa dibuat menjadi satu ruangan saja.”[/mks_pullquote]

Suryo (2017) melakukan simulasi konfigurasi ruang seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Alternatif desain ruangan rumah minimalis (Suryo, 2017)

Ia membuat 4 alternatif susunan ruangan rumah yang efisien untuk mendapatkan luas rumah yang minimal tapi nyaman ditempati. Pada gambar tersebut, luas minimal yang dapat digunakan pada rumah sederhana ialah 31,8 m2 untuk alternatif 1; 34,3 m2 untuk alternatif 2; 36 m2 untuk alternatif 3; dan 30,9 m2 untuk alternatif 4. Jadi, dengan mengikuti simulasi ruangan tersebut, rentang luas minimal yang bisa dibangun untuk rumah sederhana adalah 30,9 – 36 m2. Tentu saja ini lebih kecil daripada luas minimum rumah sederhana yang umum digunakan yaitu 36 m2.

Cara terakhir, Anda bisa menyesuaikan tinggi plafon. Ini berhubungan dengan sirkulasi udara di dalam rumah. Standar Nasional di Indonesia menyatakan bahwa luas minimal rumah layak huni di Indonesia adalah 36 m2 dengan tinggi minimal plafon 2,5 m. Akan tetapi, jika Anda meninggikan plafon sampai 2,8 m, maka Anda bisa mengurangi luas rumah menjadi 32,1 m2 saja. Jadi, meskipun luas rumah hanya 32,1 m2, tapi sirkulasi udara di dalam rumah masih sehat. Namun demikian, yang perlu Anda ingat, bukan berarti Anda bisa membuat plafon setinggi mungkin agar bisa semakin mempersempit luasan rumah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, luas minimal rumah yang dapat dibangun dengan rekayasa ruang adalah 30,9 m2.

Referensi
Suryo, S. M. 2017. Analisa Kebutuhan Luas Minimal pada Rumah Sederhana Tapak di Indonesia. Jakarta: Jurnal Permukiman
Kategori
Infrastruktur

Polemik Membangun Rumah

Perdebatan soal membangun rumah kembali mengemuka setelah gempa beruntun terjadi di Lombok. Kelompok yang satu mengajak kembali belajar serta menggunakan model dan bahan rumah adat yang terbukti lebih tahan terhadap gempa. Kelompok yang satunya berujar bahwa kembali ke rumah adat sebagai pilihan pembangunan rumah massal bukanlah langkah yang realistis di saat perkembangan bahan dan model rumah tahan gempa sudah demikian apiknya. Mereka menyesalkan para perindu romantisme masa lalu masih saja terjebak pada cara pandang yang imajinatif-tak-realistis. Pertanyaan yang menohok tentu saja begini: apakah para aktivis arsitektur rumah adat betah tinggal di rumah semacam itu? Kelompok yang satunya lagi mencoba berpikir lebih bijak: hendaknya masalah pemilihan bahan dan model rumah ya diserahkan pada calon penghuninya. Toh, akhirnya yang menempati juga mereka.

Ujaran kelompok bijak ini sungguh menarik, karena di situlah duduk perkaranya. Pertanyaan kritis yang perlu kita lontarkan: apakah calon penghuni rumah bisa salah? Apabila semua keputusan pemilihan bahan, model, dan pembagian ruang rumah diserahkan sepenuhnya kepada calon penghuni, bisakah mereka mengambil keputusan yang keliru? Jikalau asumsinya mereka tak bakal keliru, lalu apa guna arsitek? Kita toh lebih setuju masyarakat merancang tempat tinggalnya sendiri.

Sebaliknya, apabila kita mengasumsikan si calon penghuni rumah tidak punya pengetahuan yang luas bagaimana rumah yang nyaman dan aman, sehingga masalah perancangan model dan bahan rumah diserahkan sepenuhnya kepada para arsitek dan insinyur, kita kembali masuk ke dalam jurang pembangunan rumah a la pengembang. Pembangunan rumah yang berbentuk kaplingan dengan model seragam, sesuai dengan definisi rumah menurut KBBI. Rumah dalam kamus besar itu hanya diartikan sebagai (1) bangunan untuk tempat tinggal, (2) bangunan pada umumnya (seperti gedung). Dua buah definisi yang hambar dan kerontang.

Baca juga: Kita Semua Koruptor?

Tentu saja rumah tak sehampa itu. Bagi Agustinus Wibowo, dalam novelnya Titik Nol, rumah adalah ruang di sudut Lumajang yang sesak oleh peristiwa-peristiwa mengguncang terutama di sekitar ranjang. Rumah baginya adalah kenyataan pahit dan manis yang berseliweran di atas plafon ketika ia berbaring di kasur setelah menempuh perjalanan darat dari China ke Afrika Selatan. Bagi Fernando Torres, Vicente Calderon adalah rumah yang begitu hangat menyambutnya setelah lelah mendapatkan cemooh sporadis di London. Bagi Wiranggaleng, dalam cerita kanon Arus Balik, rumah bukan gedung syahbandar Tuban saja, melainkan seluruh Kota Tuban, yang takkan ia relakan direbut setan-setan Portugis dan para pengkhianat di pedalaman.

Berbeda dengan Wiranggaleng yang sadar bahwa ia, rumahnya, kotanya, dan lingkungannya adalah produk kebudayaan Majapahit meski sudah mengalami kemunduran, sehingga ia belajar memahami dan mempertahankannya, saya melihat kecenderungan yang berbeda di sebuah pulau di Madura. Seiring dengan peningkatan ekonomi beberapa keluarga, semakin banyak rumah model televisi. Maksudnya, orang-orang di sana kini memilih model rumah “orang kaya” seperti yang sering ditampilkan sinetron di televisi. Rumah dengan atap dan tiang yang tinggi, luas, dikelilingi pagar yang tinggi, rasio teras yang lebih sempit dibandingkan luas rumahnya, dan halaman yang tak lagi bersinggungan dengan halaman rumah tetangga. Mirisnya, rumah yang semegah istana ini hanya ditempati setahun sekali, ketika menjelang dan setelah hari raya idul fitri. Kalaupun dihuni sepanjang tahun, yang menempati adalah orang tua si pemilik rumah yang sudah tua. Sebab si pemilik rumah merantau ke kota. Bisa dibayangkan kakek-nenek (bisa nenek saja) itu mengurusi rumah bak istana. Nyapunya saja pasti merana.

Memang sah-sah saja membangun rumah sebesar apapun karena itu kan duitnya sendiri. Yang menjadi masalah, keputusan menentukan model rumah tersebut dipengaruhi oleh televisi yang belum tentu sesuai dengan kepentingan sosial lingkungannya. Interaksi sosialnya menjadi berubah. Disadari atau tidak oleh masyarakatnya. Atau ada yang beranggapan perubahan sosial bukan urusan arsitek dan insinyur?

Mari sekarang ambil contoh rumah dempet di kota-kota besar. Persaingan yang ketat di kota berangsur-angsur membuat seseorang atau keluarga menjadi lebih individualis, meski kadarnya berbeda-beda. Untuk urusan rumah, sejengkal tanah saja menjadi sangat berharga. Kalau perlu dipagari dengan tembok yang tak tertembus mata. Ancaman dari luar rumah lebih terasa. Tentu saja itu tak sepenuhnya salah mereka karena memang keadaan yang memaksa.

Baca juga: Emisi CO2 Berkeliaran di Jalanan Jogja

Padahal, menurut para ahli, masyarakat marjinal kota bisa menaikkan kualitas hidup dengan bekerja sama. Dorongan bekerja sama ini, dari sudut pandang arsitektur, bisa diwujudkan dengan adanya ruang-ruang bersama, misalnya tempat berkumpul beberapa keluarga dan bermain bersama anak-anaknya. Tapi apakah ruang bersama bisa bertahan lama saat sifat memikirkan diri sendiri sudah merasuki jiwa? Lantai 3 Rumah Contoh di tepi kali Ciliwung yang awalnya didesain oleh pegiat arsitektur parsipatoris sebagai ruang bersama, akhirnya berubah dalam beberapa bulan saja menjadi gudang dan kamar keluarga.

Oleh karena itu, amat penting untuk bisa membedakan antara “kemauan masyarakat” dan “kepentingan masyarakat”. “Kemauan” pasti diwujudkan secara sadar, sementara “kepentingan” belum tentu. Sehingga, dialog konstruktif antara masyarakat dan para perancang rumah sangat dibutuhkan agar desain dan bahan rumah yang dipilih sesuai dengan “kepentingan”.

Dengan demikian, masalah pembangunan rumah bukan soal “kembali ke rumah kayu dan bambu” atau “pakai beton saja”, “rumah adat” atau “rumah desain jepang”, tapi apakah pemilihan bahan dan model rumah sesuai dengan “kepentingan masyarakat”.

Kategori
Beranda

Gempa Lombok dan Rumah Kita

Ilustrasi: Lentera Rumah

Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menginformasikan Gempa Lombok yang terjadi sekitar pukul 7 malam WIB (5/8) besarnya 6,9 SR (skala Richter). Skala ini berguna untuk mengetahui berapa amplitudo maksimum suatu gempa. Untuk menghasilkan angka ini, butuh perhitungan matematis dari data pengukur gempa (seismogram). Akan tetapi, angka tersebut juga dapat diterjemahkan ke dalam efek yang dirasakan manusia. Untuk gempa 6,9 SR, area yang berpotensi mengalami kerusakan ialah radius 160 km.

Namun demikian, skala ini kurang detail dalam memprediksi getaran yang dialami oleh manusia terutama yang di dalam rumah dan kerusakan yang dialami oleh bangunan. Oleh karena itu, dapat digunakan skala Modified Mercally Intensity (MMI). Skala ini juga sudah digunakan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika. Berikut penjelasan skala MMI tersebut.

MMI I: getaran dirasakan kecuali dalam keadaan luar biasa oleh beberapa orang

MMI II: getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda-benda ringan yang digantung bergoyang

MMI III: getaran dirasakan nyata dalam rumah. Terasa getaran seakan-akan ada truk berlalu.

MMI IV: pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, di luar oleh beberapa orang, gerabah pecah, jendela/pintu gemerincing dan dinding berbunyi.

MMI V: getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk, orang banyak terbangun, gerabah pecah, jendela dan sebagainya pecah, barang-barang terpelanting, tiang-tiang dan barang besar tampak bergoyang, bandul lonceng dapat berhenti

MMI VI: getaran dirasakan oleh semua penduduk. Kebanyakan semua terkejut dan lari keluar, plester dinding jatuh dan cerobong asap pada pabrik rusak, kerusakan ringan.

MMI VII: tiap-tiap orang keluar rumah. Kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan bangunan dan konstruksi yang baik. Sedangkan pada bangunan dengan konstruksi kurang baik terjadi retak-retak bahkan hancur, cerobong asap pecah. Terasa oleh orang yang naik kendaraan.

MMI VIII: Kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat. Retak-retak pada bangunan dengan konstruksi kurang baik, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh.

MMI IX: kerusakan ada bangunan yang kuat, rangka-rangka rumah menjadi tidak lurus, banyak retak-retak. Rumah tampak berpindah dari pondamennya. Pipa-pipa dalam rumah putus.

MMI X: bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari pondamennya, tanah terbelah, rel melengkung, tanah longsor di tiap-tiap sungai dan di tanah-tanah yang curam.

MMI XI: bangunan-bangunan hanya sedikit yang tetap berdiri. Jembatan rusak, terjadi lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai sama sekali, tanah terbelah, rel melengkung.

MMI XII: hancur sama sekali. Gelombang tampak pada permukaan tanah. Pemandangan menjadi gelap. Benda-benda terlempar ke udara.

USGS menyatakan di daerah Mataram, Nusa Tenggara Barat, skala gempanya mencapai MMI VIII. Untuk daerah Selatan Bali hingga tengah, yaitu dari Kuta hingga Ubud, mencapai MMI V. Sedangkan di daerah Klungkung dan Singaraja mencapai MMI IV.

Berdasarkan data tersebut, prediksi kerusakan bangunan dengan konstruksi yang kuat di daerah Mataram, hanya akan mengalami kerusakan ringan dan retak-retak pada rumah dengan konstruksi yang baik. Sedangkan di daerah Bali, bangunan diprediksikan tidak akan mengalami kerusakan, kecuali ornamen-ornamen yang akan jatuh dan pecah. Akan tetapi, konstruksi bangunan di Indonesia, apalagi rumah tinggal, kerap tak memenuhi standar. Sehingga, kerusakan bisa saja lebih parah. Pada skala MMI VIII diprediksikan dinding rumah dapat terlepas. Ini adalah kejadian yang berbahaya karena dinding dapat menimpa orang yang di dalam rumah. Apalagi terjadinya di malam hari. Fenomena terlepasnya dinding rumah mulai mendapat sorotan yang besar saat terjadi gempa di Bantul, DIY, tahun 2006. Banyak korban meninggal akibat tertimpa dinding yang roboh. Desain standar rumah tahan gempa sudah merekomendasikan dinding diangkur ke kolom (tiang) rumah dengan jarak tertentu. Misalnya tiap jarak 1 meter. Hal ini membuat dinding lebih kokoh karena “berpegangan” ke kolom (tiang) struktur rumah.

Baca juga: Pelikan Tak Selamanya Jawaban Untuk Difabel

Satu hal menarik apabila mengamati lebih detail skala MMI. Rupanya, bangunan kayu yang kuat baru mengalami kerusakan pada saat gempa mencapai skala MMI X. Mengapa demikian? Tentu saja karena bangunan yang terbuat dari kayu lebih ringan daripada campuran bata dan beton. Ini bisa dijelaskan dengan Hukum Newton II yang sebetulnya sudah diajarkan sejak SMP. Hukum Newton II menyatakan bahwa F=m.a. Percepatan gempa dinyatakan dengan simbol “a”. Sedangkan “m” adalah massa (berat) bangunan. “F” adalah gaya yang harus diterima oleh bangunan tersebut. Kita tidak dapat mengatur nilai “a”, karena itu urusan Tuhan. Akan tetapi kita dapat mengatur “m”. Kita dapat mengatur seberapa berat rumah kita. Semakin kecil “m”, akan semakin kecil pula beban gempa yang akan diderita oleh rumah kita.

Rentetan Gempa di Lombok tentunya menjadi kesempatan meninjau kembali berbagai program pemerintah terkait pembangunan, khususnya perumahan, yang semakin mengarah ke Timur. Mungkin bisa lebih diperlantang: mari kembali ke kayu!

Dandy IM
PijakID
Kategori
Beranda

Mencegah Banjir Sejak Dari Rumah

Sumber: Dustymars

Perubahan wajah kota seharusnyalah diiringi perubahan cara pandang kita terhadap air. Dulu kita berpikir untuk secepat-cepatnya membuang air hujan yang menggenang di halaman rumah agar tidak mengganggu aktivitas. Itu adalah pilihan tepat ketika rumah masih jarang, sehingga air mudah meresap. Sungai masih remaja dan berfungsi optimal. Bahkan aliran air hujan kala itu sudah hilang ditelan tanah sebelum mencapai bibir sungai.

Tetapi kota berubah. Air tidak lagi leluasa menyelusup ke pori-pori tanah. Ia tertahan lapisan beton atau aspal. Sehingga kita perlu merevisi sikap kita terhadap anugerah hujan yang diberikan Sang Pencipta.

Beberapa dekade terakhir muncul istilah drainase pro-air. Maksudnya, kita tidak bisa lagi melihat air sebagai musuh yang perlu dilempar jauh-jauh dari pekarangan rumah. Kita perlu bersahabat dengan air. Istilah populernya: memanen air. Secara praktis, gerakan ini mengajak kita untuk menerapkan konsep zero run off. Tujuan utama dari konsep ini adalah memastikan bahwa tidak ada air yang keluar dari rumah kita. Semua air yang jatuh di atap, halaman, dan taman rumah tidak kita biarkan mengalir ke saluran pembuangan. Kita bertanggung jawab pada setiap tetesan air yang jatuh di rumah kita.

Konsep ini tentu mengubah cara pandang sebelumnya yang berupa drainase anti-air. Konsep anti-air memandu manusia untuk membuang air hujan ke sungai dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Penerapan dari konsep ini adalah pembangunan drainase secara masif agar bisa menampung aliran air hujan, agar tidak terjadi genangan yang mengganggu.

Banyak efek yang kemudian muncul dari penerapan cara pandang semacam ini. Karena saat musim hujan kita membuang-buang air hujan, maka kita kekurangan air di musim kemarau. Sebaliknya, kita berhadapan dengan banjir di musim hujan.

Baca juga: Kesalahan Paradigma Transportasi

Kita bisa mengambil pelajaran penting dari efek yang merugikan ini. Kita perlu mengurangi keluhan terhadap fungsi drainase yang tidak maksimal sehingga menyebabkan genangan. Lebih bijak bila kita menengok rumah sendiri terlebih dahulu. Apakah rumah kita juga menjadi penyumbang aliran air?

Beragam cara untuk menahan air agar tidak keluar dari rumah sudah ditawarkan. Salah satunya adalah sumur resapan. Sunjoto mendedikasikan waktunya untuk mengembangkan berbagai bentuk sumur resapan yang bisa diterapkan. Ia menawarkan berbagai rumus desain sumur resapan yang tidak akan saya jelaskan di sini, karena tulisan ini akan menjadi naskah kuliah. Tetapi, sebagai gambaran, untuk rumah sederhana satu lantai dengan luas atap 100 meter persegi, dibutuhkan satu sumur resapan kedap air (dinding dicor) dengan lebar lubang 60 sentimeter dan dalamnya 2 meter. Apabila kita lebih suka membuat sumur yang porus (dinding tidak dicor, sehingga air bisa meresap ke samping), dengan lebar lubang yang sama, maka kedalaman yang dibutuhkan hanya sekitar 1 meter. Sebuah pekerjaan yang tidak sulit.

Meskipun, berbagai studi belakangan menunjukkan bahwa taman resapan lebih efektif daripada sumur resapan. Ia lebih efektif menyerap air. Cara membuatnya lebih mudah. Cukup dengan membuat sepetak tanah berumput yang sisinya ditinggikan agar air menggenang di lahan tersebut. Misalnya, kita membiarkan halaman yang luasnya 20 meter persegi (seluas parkiran mobil) tetap berupa tanah yang berumput dan meninggikan sisinya sebesar 10 sentimeter. Maka, air yang dapat ditampung sebanyak 2 meter kubik. Bandingkan dengan satu sumur resapan sedalam 2 meter yang hanya bisa menampung setengah meter kubik.

Tentu saja hitung-hitungan ini adalah penyederhanaan. Sebab belum mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti kecepatan resapan air. Tetapi, setidaknya, kita bisa mengerti satu hal. Bahwa membuat sepetak tanah kecil berumput di rumah kita lebih bijak daripada membetonnya. Apalagi jika halaman kita yang berbeton itu kemiringannya diarahkan ke jalan. Tindakan itu membuat kita juga ikut berpartisipasi sebagai penyumbang banjir.

Konsep pro-air ini tidak hanya membantu kita untuk mengamankan persediaan air. Ada hal positif lain yang mengikutinya. Pertama, tindakan meresapkan air di sekitar rumah membuat pencemaran air tanah di daerah tersebut menurun. Zat-zat berbahaya menjadi encer karena pasokan air bersih bertambah. Efeknya, manusia di daerah itu menjadi lebih sehat. Kedua, tanah tidak gampang ambles. Apabila air dibuang begitu saja sehingga tidak meresap ke dalam tanah, air tanah semakin menipis. Akibatnya, rongga tanah semakin membesar. Lama-kelamaan, tanah runtuh. Hal ini akan akan sangat merugikan jika di atas tanah tersebut berdiri sebuah bangunan, jalan misalnya. Atau bahkan bangunan itu adalah rumah kita sendiri.

Perubahan tindakan dari anti-air menjadi pro-air ini memang memerlukan waktu. Sebab ini bukan hanya soal tidak pedulinya pemerintah pada persoalan krusial semacam ini. Tetapi ini juga merupakan masalah perilaku dan cara pandang kita. Singkatnya, masalah kebudayaan.

Tetapi harapan perubahan tetaplah ada, meskipun secara perlahan. Daripada tidak ada perubahan sama sekali. Masih ada harapan untuk hari esok yang lebih baik.

Dandy IM
PijakID