Kategori
Transportasi

Kisah Ibu Melalui Badai dan Pelabuhan Jahanam

Pelabuhan Tarebung, difoto dari Utara
Oleh: Dandy IM

Apa yang berkecamuk di kepalamu saat kau sudah berhasil turun dari kapal yang berbandul tetapi anak-anakmu masih belum juga menapak dermaga? Kau mungkin kesal pada angin yang harus berhembus kencang tepat saat kepulanganmu ke pulau yang menampung rumah tempat kau dulu dilahirkan. Setelahnya kau akan bertanya-tanya mengapa pelabuhan pertama yang bisa disandari kapal feri di pulau tempat tinggalmu tak henti-hentinya rusak terutama saat musim penghujan tiba? Kau hanya berharap para tentara itu membopong anakmu dengan selamat ke lantai dermaga – seperti dirimu. Kau sempat mengutuk dalam hati keputusan para tentara yang menggiringmu lebih dahulu ketimbang anak-anakmu.


Meskipun hatimu sudah tak keruan karena tidak sabar menunggu anak-anakmu datang ke pangkuanmu, kau masih saja menambahi beban pikiranmu dengan penderitaan di tengah laut selama enam jam sebelum tiba di dermaga pesakitan itu. Padahal, perjalanan normal hanya butuh empat jam. Sebetulnya kau ingin langsung membuang jauh-jauh pengalaman pahit yang kau alami ketika sudah mencapai daratan. Kau sudah meniatkannya di toilet kapal. Namun, suguhan pelabuhan sekarat yang memberi tambahan derita bagi dirimu dan penumpang lainnya, membuatmu tak bisa melepaskan begitu saja kenangan barusan dari cairan kepala.

Enam jam sebelumnya, kau sudah bersiap bersama anak-anakmu di pelabuhan Jangkar, Situbondo, Jawa Timur, sejak matahari masih cukup jauh dari garis horizon. Kau memang berangkat lebih awal dari Denpasar, Bali, tanpa iringan suami yang ingin meraup rezeki dengan menjual balon di malam tahun baru. Kedatanganmu di pelabuhan Jangkar tidak terlambat, tapi juga bisa dibilang agak terlalu cepat. Kau menyuruh anakmu yang paling besar mengantre tiket, sementara dirimu menjaga anak-anakmu yang lain di emperan kantor pelabuhan. Anakmu yang paling kecil senang melihat layang-layang saling beradu di pantai.

Segalanya baik-baik saja saat kapal sudah mulai meninggalkan pelabuhan Jangkar tepat saat matahari tenggelam setengah bagian. Nelayan masih berangkat melaut. Angin tak terlalu menerpa wajah. Awan juga tak kelabu. Kau mengira bisa tidur nyenyak dengan anak-anakmu yang sepertinya tak bakal rewel dengan perjalanan kapal yang mulus. Kau membuka bungkus kue kering manis yang kau bawa dari Bali. Anakmu yang kedua memintanya, sepertinya ia sedikit lapar. Untungnya kamu membawa makanan itu karena jajanan di kapal mahalnya keterlaluan. Sedangkan anakmu yang paling besar asik saja dari tadi menonton orkes dangdut pernikahan.

Kau hampir menempelkan punukmu ke bantal saat kapal mulai berbandul. Goyangannya memang beraturan. Namun, kau tahu kapal terbuat dari besi yang semestinyalah lebih berat daripada kayu. Ketika remaja dulu kau lebih sering naik perahu untuk bepergian ke pulau Jawa – tentu saja, karena saat zamanmu dulu kapal besi belum mampir di pulau yang kau tempati. Perahu yang miring diterpa angin, tidak butuh waktu lama untuk kembali ke posisi semula. Sementara kapal, kira-kira butuh tiga kali tarikan napas untuk berdiri tegak lagi. Tingkah kapal yang semacam itu sudah cukup membuatmu dan orang-orang di sekitarmu memandang dan berbisik satu sama lain – ada pula yang berkomat-kamit sendirian. Anakmu yang paling kecil mulai merengek. Anakmu yang paling besar bingung: lebih baik merebahkan badan, duduk, atau berdiri saat kondisi seperti ini. Berdiri tentu tidak mungkin karena kepalanya akan membentur atap di ruangan yang terisi kasur bertingkat ini. Setelah berganti posisi dari tidur ke duduk, mungkin setengah jam kemudian, anakmu yang pertama muntah. Untung ia sudah memberi kode terlebih dahulu, sehingga kau segera menyodorkan keresek hitam yang disediakan pengelola kapal. Sambil kau pijiti bahu anak itu, tanganmu yang lain juga mengusap-usap anakmu yang menangis. Namun, anak itu tak kunjung meredakan air matanya.


Baca juga: Apakah Raja-Raja Pesisir Berdagang?

Awalnya kau bisa menjaga gejolak lambungmu. Campuran kimia di kantong itu tidak naik meski digoyang tak henti-hentinya oleh ombak jahanam. Namun, saat perempuan tua di kasur sebelah memuntahkan isi lambungnya dengan wajah menghadap padamu – kenapa dia tidak muntah ke arah sebaliknya saja? – kau merasakan makanan encer di badanmu sudah sampai dada. Perempuan tua itu semakin tidak tahu diri. Ia muntah dengan suara yang menyedihkan, seperti kucing yang tak terlalu berisik saat muntah tapi sungguh menjijikkan. Kau lalu muntah sejadi-jadinya. Bahkan butiran nasi keparat itu masuk ke saluran hidungmu dan membikin kepalamu semakin pening saja. Rangkaian peristiwa ini belum cukup menyedihkan bila dibandingkan dengan kenyataan bahwa kau muntah saat membawa anak-anak. Apa yang lebih menyayat isi dadamu ketimbang terkulai lemas tak berdaya sehingga tidak punya tenaga untuk menjaga anak-anakmu di tengah badai?

Kenyataan ini yang membuat kau mengutuk seikhlas mungkin perencana pelabuhan yang tergeletak menyedihkan di pantai Tarebung, Sapudi, Kabupaten Sumenep. Mengapa mereka meletakkan pelabuhan yang sedemikian pentingnya di wilayah yang ombaknya begitu besar bahkan di musim yang tenang sekalipun? Memang, daerah wilayah itu lautnya sudah cukup dalam untuk kapal besi meski baru berjarak tigapuluh meter dari garis pantai. Biaya pembangunannya bisa saja tiga kali lebih murah apabila pelabuhan dibangun di wilayah Kalowang, misalnya. Tampaknya pemilik dana pelabuhan hanya memikirkan biaya murah sesaat semasa pembangunan saja. Ia mungkin tak berpikir biaya perawatan, perbaikan lebih tepatnya, yang akan jauh lebih mahal bahkan melampaui biaya pembangunannya. Gelagar dermaga selalu tak kuat menahan ombak di musim badai. Sehingga, setiap tahun perlu dibangun gelagar baru. Akhirnya, karena dana tidak terlalu tersedia, rakitan bambu menjadi pilihan yang digunakan. Bukankah itu juga membahayakan petugas pelabuhan yang menambatkan tali kapal saat ingin bersandar?

Pelabuhan Tarebung, difoto dari Selatan
Oleh: Dandy IM
Anak-anakmu sudah berada di pangkuanmu setelah mereka digendong tentara melewati undakan kapal yang tidak bisa menempel sempurna pada dermaga akibat digoyang ombak. Kakimu telah menapak daratan yang tak bergoyang, sehingga kau bisa pulang dengan damai ke rumahmu, bertemu dengan sanak saudara yang tak kaujumpai selama beberapa tahun – kau bahkan lupa tepatnya. Tentang pelabuhan itu, kau akhirnya hanya berharap para pembesar lebih serius membangun pelabuhan perintis. Tidak asal bangun saja tanpa memikirkan keberlanjutannya. Pelabuhan perintis yang mungkin tak menguntungkan berdasarkan hitung-hitungan duit, karena calon penumpang dan angkutan barang yang sedikit, tapi itu sangatlah berarti untuk membantu orang-orang kepulauan keluar dari keterpurukan.


Dandy IM
PijakID

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan komentar