Kategori
Infrastruktur

Hati-Hati Kecanduan Jalan Tol

Foto oleh Fatur (pijak.id)

Mudik merupakan tradisi tahunan warga Indonesia. Setelah sekian lama mengadu nasib di tanah rantau, mudik menjadi pelepas rasa rindu terhadap keluarga dan kampung halaman. Lebaran menjadi momen yang tepat untuk mudik. Kabar baiknya, pemerintah telah membuka banyak jalan tol baru untuk lebaran kali ini. Namun, apakah adanya jalan tol tersebut selalu berdampak positif?

Secara kasat mata, kita melihat dengan dibukanya jalan tol baru, maka waktu tempuh menuju tujuan menjadi lebih singkat. Contohnya, dengan adanya Jalan tol Solo-Kertosono, waktu tempuh Semarang-Solo yang normalnya menghabiskan 3-4 jam diklaim dapat ditempuh dalam 1 jam. Selain itu, dengan adanya jalan tol baru, perpindahan logistik menjadi semakin cepat. Harga-harga barang kemudian bisa lebih murah dan secara luas dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi di balik itu semua, pembangunan jalan tol juga memiliki dampak negatif yang tidak sedikit.

Menurut laporan Kesiapan Operasi Angkutan Lebaran 2017 yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), jumlah pemudik tahun 2017 mencapai 27,7 juta jiwa. Angka ini naik 7,4 persen dari tahun sebelumnya. Pemudik dengan kendaraan pribadi bahkan melonjak sebesar 14 persen, yakni dari 7,64 juta ke 8,71 juta jiwa. Adapun untuk tahun ini, diprediksi jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi mencapai 12,24 juta orang. Hal ini perlu mendapat perhatian. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak terkontrol dapat membuat jalanan menjadi macet. Kerugian akibat kemacetan sendiri sudah banyak diteliti. Di Jakarta misal, “harga” kemacetan mencapai 150 triliun rupiah setahun. “Harga” tersebut terdiri dari biaya sosial, biaya BBM, biaya kesehatan akibat polusi, dan banyak biaya-biaya lain yang sulit untuk diukur secara langsung.

Baca juga: Layakkah Strategi Pembiayaan Infrastruktur Era Jokowi?

Lalu yang menjadi pertanyaan, apa hubungan pembangunan jalan tol baru dengan kemacetan? Bukankah dengan bertambahnya jalan baru dapat mengurai kemacetan? Pertama-tama yang perlu kita ketahui adalah penambahan jalan baru untuk mengurai kemacetan merupakan konsep jadul. Hal ini didasari pada teori ekonomi tentang permintaan dan penawaran. Meningkatnya penawaran (kapasitas jalan) juga akan mengakibatkan meningkatnya permintaan (jumlah kendaraan dalam lalu lintas). Beberapa studi menyatakan terdapat hubungan 1:1 antara keduanya. Artinya, bertambahnya kapasitas jalan sebesar 10 persen juga akan mengakibatkan bertambahnya jumlah kendaraan yang melintas sebesar 10 persen.

Kenaikan jumlah kendaraan ini dapat dijelaskan dengan konsep biaya umum (generalized cost). Biaya umum adalah total biaya gabungan yang dikeluarkan ketika melakukan perjalanan. Jadi misal ada satu keluarga yang terdiri dari empat orang ingin mudik dari Jakarta ke Jogja, mereka akan dihadapkan dengan beberapa pilihan: naik mobil pribadi, naik kereta, atau naik pesawat. Jika naik mobil, mereka akan mengeluarkan biaya untuk membeli BBM, makan di warung, hingga membayar parkir, dengan waktu tempuh yang relatif lama. Lain jika mereka naik pesawat, maka mereka hanya akan mengeluarkan biaya untuk membeli tiket dan biaya untuk menuju ke bandara. Waktu tempuh perjalanan pun lebih singkat. Mereka memutuskan moda apa yang akan dinaiki berdasarkan biaya umum yang menurut mereka paling murah. Nah, dengan pembangunan jalan tol ini, masyarakat semakin dimanja untuk menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum yang memiliki kapasitas penumpang lebih besar.

Indonesia sendiri adalah negara yang unik. Negara kita terdiri dari banyak pulau dan dibelah oleh banyak sungai. Pengembangan transportasi air menjadi hal yang wajib dilakukan. Kita ambil contoh di Kalimantan. Banyak sungai menyusuri pulau tersebut. Jenis tanah di sana kebanyakan merupakan tanah gambut yang kurang baik dalam mendukung struktur di atasnya. Pengembangan transportasi penyeberangan tentu akan lebih efektif daripada jalan tol yang akan menelan biaya yang sangat besar bila dibangun.

Tentunya pembangunan jalan tetap perlu diperlukan, namun pemerintah tidak boleh hanya bertumpu pada jalan tol. Masih banyak alternatif transportasi lain yang dapat dikembangkan, seperti transportasi penyeberangan. Angkutan penyeberangan jarak jauh seperti jalur Jakarta-Surabaya yang sudah dimulai perlu dikembangkan lebih cepat. Termasuk di gugus pulau lainnya. Sebab transportasi laut lebih minim polusi, biaya perawatan lebih sedikit, dan tentunya riwayat kecelakaannya lebih rendah daripada jalan tol. 

Baca juga: Tidak Ada Bulan Puasa di Pelabuhan Jangkar

Pembangunan transportasi umum yang baik juga harus terus dikerjakan. Agar transportasi umum diminati masyarakat, pemerintah dapat membuat generalized cost untuk transportasi umum lebih murah, bisa dengan membatasi kepemilikan kendaraan bermotor, meningkatkan pajak, menentukan tarif untuk ojek daring, dan subsidi untuk kendaraan umum. Jangan biarkan kecanduan jalan tol ini terus-terusan menjangkiti pemerintah.

Referensi:

https://www.otosia.com/berita/tol-solo-kertosono-segera-rampung-waktu-tempuh-surabaya-solo-terpangkas.html

https://kumparan.com/@kumparannews/27-7-juta-pemudik-lebaran-2017

https://www.antaranews.com/berita/557157/harga-kemacetan-jakarta-rp150-triliun-setahun

https://www.wired.com/2014/06/wuwt-traffic-induced-demand/

Iqbal Ramadhan

2 replies on “Hati-Hati Kecanduan Jalan Tol”

Sampai saat ini saya belum melihat komitmen pemerintah untuk serius mengurai problematika kemacetan dan dampak domino yang diakibatnya. Saya lebih melihat data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang adanya peningkatan kebutuhan transportasi sebesar 5,52% antara Januari – September 2017 bagi masyarakat dengan pendapatan antara 1 – 2 juta rupiah, juga terjadi pada masyarakat dengan kelas pendapatan di atasnya. Kondisi ini juga didukung oleh adanya pergeseran pola konsumsi dari makanan dan sandang (busana), menuju kebutuhan sekuder seperti rekreasi. Alhasil, bisa jadi indikasi dimana kebutuhan masyarakat untuk bermobilitas semakin besar. Gaikindo pun juga merilis data penjualan kendaraan bermotor dimana selama tahun 2017 ada 1,079 juta unit mobil terjual. Angka ini meningkat tipis 1,6% dari tahun sebelumnya. Bisa dibayangkan seberapa parah masa depan, apalagi reformasi transportasi berjalan begitu lamban. 😦

Suka

Tinggalkan komentar