Kategori
Transportasi

Emisi CO2 Berkeliaran di Jalanan Jogja

Salah satu unsur dalam asap kendaraan yang kita bawa, yaitu karbon dioksida (CO2), menetap di udara dan bergabung dengan CO2 lain yang berasal dari kendaraan teman, keluarga, bahkan orang yang sama sekali tidak kita kenal. Kumpulan CO2 dari asap kendaraan itu masih ditambah lagi dengan asap pabrik, pembangkit listrik tenaga uap, pembakaran hutan, dll. Persetubuhan sejenis CO2 itu bertambah banyak dari tahun ke tahun hingga menyelimuti bumi. Lalu buntalan CO2 tersebut akan memantulkan lagi radiasi bumi kembali ke bumi sehingga memicu pemanasan global. Ujung-ujungnya perubahan iklim. Bumi makin gerah, garis pasang air laut makin naik, dan kekeringan berkepanjangan semakin sering terjadi.

Menurut penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), CO2 adalah gas yang paling mempengaruhi pemanasan global. Sebab CO2 adalah gas yang paling banyak menaikkan jumlah energi yang mencapai bumi. Sudah begitu, CO2 bertahan di atmosfer lebih lama daripada gas rumah kaca lain yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Untuk jumlah CO2 saat ini, diperlukan waktu 1 abad agar ia menyingkir dari atmosfer. Akan tetapi, 20 persennya akan tetap berada di atmosfer hingga 8 abad.

Lebih dari separuh emisi CO2, khususnya di perkotaan, disumbang oleh kendaraan. Untuk jalan utama di Kota Jogja, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup 2013, mobil dan sepeda motor menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar, yaitu 39 persen dan 38 persen. Sisanya disumbang oleh bus (9 persen), truk kecil (8 persen), dan truk besar (6 persen). Walaupun jumlah mobil lebih sedikit ketimbang sepeda motor, tapi satu unit mobil mengeluarkan emisi CO2 jauh lebih banyak daripada satu unit sepeda motor.

Sebetulnya emisi kendaraan di jalan raya dapat diserap oleh tumbuhan di sepanjang jalan. Seperti kita ketahui, tumbuhan butuh CO­2 untuk proses fotosintesis. Tapi bagai manusia yang kalau makan kebanyakan jadi mual, tumbuhan juga bisa enek kalau kebanyakan CO2. Akhirnya, tak seluruh CO­2 di jalan raya ia serap. Sisanya dilepas ke atmosfer.

Baca juga: Gempa Lombok dan Rumah Kita

Jan Probowo Harmanto, peneliti di Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM meneliti seberapa banyak emisi CO2 di jalan-jalan utama Jogja dan seberapa besar CO2 yang mampu diserap oleh tumbuhan di sepanjang masing-masing jalan. Ia menggunakan dasar emisi CO2 dari Kementerian Lingkungan Hidup 2013 yang kemudian diproyeksikan ke tahun 2016. Peningkatan jumlah emisi CO2 ia asumsikan setara dengan pertumbuhan kendaraan bermotor per tahun di Kota Jogja, yaitu 7,24 persen.

Hasil penelitian Jan menunjukkan, 70 persen jalan utama di Kota Jogja sisa emisi CO2-nya positif. Artinya, jalan-jalan tersebut menyumbang emisi CO2 ke atmosfer karena tumbuhan, lahan terbuka, dan unsur-unsur lain di jalan itu tak lagi mampu menjinakkan asap knalpot.

Sisa emisi CO2 terbesar terjadi di Jalan Taman Siswa, yaitu 6.669,5 ton/km/tahun. Emisi CO2 di jalan yang panjangnya 1,56 kilometer ini memang menjadi yang terbesar yaitu 8189,7 ton/km/tahun, tapi serapannya hanya 1520,2 ton/km/tahun. Sedangkan jumlah emisi terendah berada pada Jalan KH Ahmad Dahlan, yaitu 205,1 ton/km/tahun.

Serapan tertinggi terdapat pada Jalan Sorogenen yaitu 2249,3 ton/km/tahun dan serapan terendah pada Jalan Pasar Kembang yaitu 876,9 ton/km/tahun. Walaupun serapannya terendah, tapi emisi CO2 di jalan ini hanya 1150,6 ton/km/tahun.

Meskipun penelitian ini meniadakan beberapa parameter yang berpengaruh seperti jenis tumbuhan di jalan dan serapan lahan kosong, tapi hasilnya bisa dipakai sebagai patokan awal dalam merancang kebijakan. Secara sederhana, ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu mengurangi jumlah kendaraan pribadi dan menambah vegetasi yang efektif menyerap emisi tapi tak merusak struktur jalan.

Pilihan pertama tampak agung tapi sungguh, menerapkannya sangat butuh keteguhan. Bagaimana mungkin sebuah pemerintah daerah mengurangi kendaraan pribadi sedangkan sebagian besar pemasukannya berasal dari pajak kendaraan? Menurut Firdaus (2014), kontribusi pajak kendaraan bermotor terhadap pendapatan asli daerah DIY pada tahun 2013 sebesar 37,68 persen. Meski data tersebut di DIY, tapi kecenderungan di kabupaten/kota lain pun sama, termasuk Kota Jogja.

Saya tidak akan bercerita lebih lanjut soal perdebatan solusi pengurangan kendaraan pribadi di sini, karena bakal out of topic. Cerita tentang hal itu bisa dibaca di artikel lain di website ini.

klik ya biar kliatan

Untuk pelaksanaan langkah yang kedua, yaitu menambah vegetasi agar serapan CO2 di jalan makin tinggi, tantangannya berada pada koordinasi antardinas. Untuk satu ruas jalan, ada beberapa dinas yang terlibat, sebut saja dinas pekerjaan umum yang berkaitan dengan struktur jalan, dinas perhubungan yang bertanggung jawab pada sistem lalu lintas, dan dinas lingkungan hidup yang berkewajiban meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan ruang terbuka hijau. Maka, kuncinya ada di wali kota/bupati/gubernur untuk memastikan yang dilakukan masing-masing dinas senafas dengan misi pengurangan emisi kendaraan. Penelitian, perancangan, hingga rekomendasi sudah menumpuk. Tinggal kesungguhan mengeksekusi.

Masalah polusi udara akibat kendaraan memang rumit apabila para pegawai pemerintahan belum menyadarinya, lebih-lebih pengendara. Riuh dari ibu kota yang berasal dari protes beberapa orang terhadap kebijakan ganjil-genap yang diperluas, dengan berargumen bahwa mereka telah membayar pajak tapi kok dibatasi, apabila dipandang dari kaca mata lingkungan sungguh itu adalah ketidaksadaran yang akut. Pertanyaannya: apakah uang pajak kendaraanmu dapat menutupi biaya polusi yang mendera hidung, mata, hingga telinga orang-orang yang berada di sepanjang jalan yang kamu lalui setiap harinya? Mari jangan hanya sinis pada dana kesehatan versus pajak rokok.

Referensi:
Harmanto, J.P. 2018. Perhtiungan Emisi dan Serapan Karbon Dioksida (CO2) pada Beberapa Ruas Jalan Utama di Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Pustral UGM

Firdas, R.B. 2014. Konstribusi Pajak Kendaraan Bermotor terhadap Pendapatan Asli Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010-2013. Tugas Akhir. Universitas Negeri Yogyakarta

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan komentar