Kategori
Kapital

Kerja Reproduktif yang Tidak Dihargai

Perbincangan tentang pembagian tugas dalam rumah tangga semakin digemari oleh banyak orang belakangan ini, terutama muda-mudi yang belum menikah. Mulai banyak yang sadar bahwa memasak, mencuci baju dan piring, menyapu, menyuapi anak, mengganti popok bayi, bukan hanya tanggung jawab istri. Suami pun ikut bertanggung jawab. Pembagian tugas pekerjaan rumah yang juga menyita waktu dan tenaga ini semestinya diobrolin secara terbuka oleh kedua pasangan yang tinggal serumah. Kuncinya adalah komunikasi, keterbukaan, dan kesadaran bahwa pekerjaan tersebut adalah tugas bersama. Begitulah obrolan umum yang sering saya dengar dan baca.

Akan tetapi, sebaiknya kita tidak berhenti di tahap kesadaran tersebut. Hanya sadar bahwa pekerjaan rumah adalah tugas bersama akan membuat sikap kita cuma sebatas ini: “Ya sudah, kalian kan sudah sama-sama sadar. Berdiskusilah. Siapa yang memasak di hari Senin, siapa yang menyapu di hari Selasa, siapa yang mencuci di minggu kedua, siapa yang berbelanja di hari Jumat, harus kalian sepakati bersama, secara terbuka dan saling pengertian. Termasuk jika kalian ingin membayar pembantu saja, karena sama-sama ingin fokus berkarier. Itu terserah kalian. Yang penting kalian sepakat. Tidak ada keterpaksaan.” Jika kita puas sampai tahap ini, maka kita menganggap pekerjaan rumah hanyalah urusan masing-masing keluarga. Padahal, ada masalah sistemis dalam persoalan ini, yang berhubungan dengan pemahaman kita soal kerja.

Kerja reproduktif

Selama ini, kita menganggap yang termasuk kerja itu adalah aktivitas yang produktif atau menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi, baik barang maupun jasa. Kerja yang kita pahami adalah kegiatan yang menghasilkan uang secara langsung. Memperbaiki saluran air yang bocor, menulis berita, memancing, memberi kuliah pada mahasiswa, atau menyiram taman istana. Inilah kerja dalam bayangan kita.

Sederet kegiatan yang saya contohkan di atas memang berdampak langsung pada perputaran roda ekonomi. Namun demikian, aktivitas tersebut akan sangat terhambat bahkan macet tanpa topangan kerja reproduktif. Salah satu kerja reproduktif yang berperan penting dalam hal ini adalah pekerjaan rumah tangga. Si tukang ledeng bisa tenang berangkat pagi ke kantor karena pekerjaan rumah di pagi hari dikerjakan oleh istrinya. Sabun, sampo, dan pasta gigi tidak habis, pakaian sudah rapi tinggal pakai, sarapan pagi telah siap, lalu tinggal berangkat kerja. Selama bekerja, pikirannya tidak terganggu oleh urusan rumah: piring kotor sudah berapa tumpuk? Apakah lantai sudah disapu? Persediaan makanan di kulkas bagaimana? Semua pekerjaan ini sudah ditangani oleh sang istri.

Tugas-tugas rumah sang istri ini disebut kerja reproduktif karena hasil kerjanya membuat suami yang baru saja pulang pada petang siap bekerja lagi esok hari. Seandainya si suami saat sampai rumah ternyata makanan tidak ada, lantai rumah berdebu, anak menangis, kulkas kosong, maka ia perlu mengeluarkan tenaga lagi untuk mengurus ini semua. Tenaganya yang sudah terkuras di tempat kerja untuk berproduksi, masih harus diperas lagi untuk pekerjaan rumah. Untunglah, segala pekerjaan rumah sudah dibereskan sang istri. Si suami hanya perlu mandi, ibadah, makan, bersantai, lalu siap-siap istirahat agar esok badan kembali bugar.

Perusahaan tempat si tukang ledeng bekerja tentu saja mendapatkan keuntungan yang luar biasa dari kerja rumah tangga yang dilakukan oleh istri si tukang ledeng. Pegawainya, si tukang ledeng, bisa semangat bekerja karena tenaganya sudah pulih tiap pagi. Bahkan waktu yang ia gunakan sangat produktif, banyak sekali pekerjaan yang selesai. Ini bisa terjadi salah satunya karena kondisi fisik dan pikiran si tukang ledeng dalam keadaan prima. Semangatnya stabil. Pikiran dan tenaganya tidak tersita oleh pekerjaan rumah. Alhasil, target pemasukan perusahaan mudah tercapai.

Namun, apakah perusahaan tersebut menghargai kerja reproduktif dari istri si tukang ledeng? Maksud “menghargai” di sini yaitu benar-benar memberi harga, nilai ekonomi, misalnya berupa uang. Apakah perusahaan membayar pekerjaan sang istri? Hampir semua perusahaan tidak melakukannya. Perusahaan tidak menghargai kerja-kerja reproduktif para istri padahal mendapatkan keuntungan ekonomi dari pekerjaan tersebut.

Bahkan untuk kerja produktif yang dilakukan si tukang ledeng saja, perusahaan masih membayar kurang dari nilai ekonominya. Ada nilai lebih dari keringat si tukang ledeng yang diembat juga oleh perusahaan. (Penjelasan lebih lanjut tentang ini silakan baca tulisan saya yang lain, agar lebih jelas. Klik di sini).

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Perusahaan tidak menghargai kerja-kerja reproduktif para istri padahal mendapatkan keuntungan ekonomi dari pekerjaan tersebut.”[/mks_pullquote]

Pencurian nilai ekonomi kerja-kerja reproduktif inilah yang saya maksud di awal tulisan sebagai masalah sistemis. Kita tidak bisa melihat persoalan pekerjaan domestik hanya semata-mata masalah pembagian peran antara suami dan istri. Fakta bahwa banyak orang menghindari pekerjaan tersebut karena membosankan, bikin cepat letih, dan sangat sulit menjadi sarana aktualisasi diri, sesungguhnya adalah bukti yang sangat jelas, dunia kita saat ini sangat tidak menghargai pekerjaan rumah tangga. Keluarga kaya mengatasinya dengan membayar pembantu. Suami di dalam keluarga menengah-miskin berlindung di balik nilai-nilai nenek moyang, bahwa tugas domestik adalah kewajiban sang istri.

Beberapa orang mungkin tidak suka karena contoh yang saya gunakan memperteguh sistem patriarki, yaitu si suami kerja, sedangkan istri mengurus rumah. Namun, jika dibalik pun, istri yang bekerja dan suami yang beres-beres rumah dan mengasuh anak, bukankah sama saja? Perusahaan tempat si istri bekerja juga mencuri atau tidak menghargai kerja-kerja reproduktif yang dikerjakan si suami. Menurut saya ini tetap bermasalah.

Yang bisa kita lakukan

Uraian saya di atas adalah konsep, cita-cita, dan imajinasi lain tentang dunia kerja. Namun, konsep ini tidak akan berguna jika tidak berbuah menjadi aturan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kita perlu mewujudkannya dalam strategi konkret yang bisa diterapkan.

Dalam konteks pekerjaan rumah tangga, salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah mengurangi hari kerja. Jika seseorang hanya bekerja dari Senin sampai Kamis, tanpa pengurangan gaji, maka perusahaan membayarnya saat melakukan pekerjaan rumah tangga di hari Jumat. Aktivitasnya di rumah seperti memasak, mencuci baju, nonton film, atau membaca buku pada hari tersebut dibayar oleh perusahaan. Terdengar aneh? Mengapa perusahaan harus membayar urusan pribadi pekerjanya? No. Salah besar. Aktivitas tersebut bukan cuma urusan pribadi. Karena seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, perusahaan mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari hasil kerja rumah tangga dan aktivitas leyeh-leyeh. Pekerjanya menjadi sangat produktif.

Kita bisa mencontoh strategi yang dilakukan oleh Autonomy, sebuah lembaga think tank di Inggris, yang baru-baru ini mendesain sebuah kebijakan dunia kerja di Valencia, Spanyol. Mereka mengajukan sebuah proposal yang berjudul The Future of Work and Employment Policies in the Comunitat Valenciana. Isinya tentang bagaimana kira-kira model dunia kerja yang harus diusahakan agar kemajuan teknologi bisa membawa manfaat bagi banyak orang di Valencia. Salah satu fokus proposal tersebut adalah bagaimana memperpendek hari kerja menjadi hanya 4 hari saja. Mula-mula mereka memetakan jenis pekerjaan apa saja yang dominan di Valencia. Setelah itu, mereka mendesain model kerja, ruang kerja, hubungan kerja, cara produksi, dll. yang memaksimalkan penggunaan teknologi. Saya yakin mereka bisa mengerjakan hal yang luar biasa tersebut karena mereka percaya bahwa ketika teknologi semakin canggih, sehingga pekerjaan lebih cepat selesai, maka seharusnya waktu kerja menjadi lebih pendek.

Kita juga perlu mempunyai strategi seperti itu. Agar kita tidak terus-terusan hanya mendesak pemerintah untuk berpihak pada pekerja tanpa menawarkan apa-apa. Mestinya kita insyaf, pemerintah secara natural tidak menempatkan rakyatnya sebagai prioritas utama. Yang paling penting baginya adalah kedaulatannya terus eksis. Jadi, ketika ekonomi terancam mandek bahkan krisis belakangan ini, pemerintah mencari tawaran yang bisa tetap mempertahankan kekuasannya dan sudah siap diterapkan. Ini bisa dilihat dari inisiatif pemerintah membikin RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Bila diperhatikan secara seksama, semangat dari rancangan tersebut cocok dengan saran-saran yang selama ini diberikan oleh lembaga keuangan internasional, yakni melonggarkan aturan ketenagakerjaan di Indonesia agar investasi banyak yang masuk sehingga muncul lapangan pekerjaan baru.

Maka merugilah kita, kelas pekerja, yang hanya berakhir membawa spanduk di jalanan, tapi tidak mempunyai strategi apa-apa.

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan komentar