Kategori
Beranda

Universal Basic Income Bukan Tujuan Kelas Pekerja

Ide mengenai Universal Basic Income (UBI) sebenarnya sudah lama mengemuka. Namun, di tengah pandemi Covid-19, obrolan tentang UBI semakin riuh. Inti dari program ini ialah negara memberikan gaji/uang tunai dengan nilai tertentu setiap bulan kepada semua warga negaranya. Dari yang paling kaya sampai yang paling miskin. Jumlah yang diberikan harus mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.

Tidak ada syarat apapun untuk mendapatkan UBI. Setiap orang hanya butuh identitas warga negara (KTP). Dengan kata lain, semua orang digaji bukan karena ia bekerja, tapi karena ia warga negara. Ini mirip dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) yang tidak memerlukan syarat apapun untuk mendapatkannya. Setiap manusia yang lahir otomatis punya HAM. Ini juga barangkali yang membuat terjemahan UBI ke Bahasa Indonesia menjadi Pendapatan Asasi Universal (PAU).

Sejak sebelum pandemi hingga kini di masa-masa penyebaran Covid-19 belum selesai, tumpuan mendasar para pendukung UBI adalah semakin banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Asumsi paling populer yang dipercaya sebagai penyebab hal ini adalah teknologi semakin pesat berkembang sehingga mampu mengambil alih kerja-kerja yang sebelumnya dilakukan oleh manusia. Pendukung UBI percaya, perkembangan teknologi tidak semestinya hanya menguntungkan para pemilik perusahaan yang bisa seenaknya memecat karyawan karena sudah ada robot-robot yang menggantikannya. Mengapa? Karena beragam teknologi yang diterapkan di tempat kerja tidak muncul serta-merta karena inovasi para pemodal. Penyusunan teknologi tersebut juga berutang besar pada para pekerja yang mempraktikkan model kerja selama bertahun-tahun sehingga optimal. Para “inovator” tinggal memodelkan sistem kerja yang ada dengan sentuhan teknologi terkini.

Berangkat dari pemahaman seperti inilah, UBI menawarkan konsep penyelamatan para pekerja. Pekerja yang tidak lagi bisa bekerja, karena diganti robot, harus tetap mendapatkan gaji. Bukan didepak begitu saja dari pabrik lalu disuruh mencari sumber hidup lain secara mandiri.

ASUMSI YANG KELIRU

Namun demikian, asumsi para pendukung UBI ini, yang menganggap pengangguran meningkat karena perkembangan teknologi, perlu dipertanyakan. Logika asumsi ini sederhana: teknologi berkembang pesat, maka produktivitas meningkat, maka pekerja yang dibutuhkan semakin sedikit. Pertanyaannya, apakah benar peningkatan produktivitas, karena pemanfaatan teknologi di tempat kerja, yang membuat serapan tenaga kerja semakin berkurang?

Faktanya, penyebab utama meningkatnya pengangguran bukan perkembangan teknologi, tapi merosotnya industri manufaktur (pabrik tekstil, garmen, otomotif, dan industri sejenis lainnya). Selama beberapa dekade, industri ini menjadi tumpuan serapan tenaga kerja karena memang membutuhkan banyak manusia untuk berproduksi. Sayangnya, lapangan pekerjaan di sektor ini terus menurun sejak empat dekade yang lalu. Ini bisa dilihat dari persentase pekerja manufaktur terhadap keseluruhan pekerja yang menurun secara global, seperti ditunjukkan oleh gambar berikut (Benanav, 2019).

Persentase pekerja manufaktur yang terus menurun secara global

Secara umum, persentase pekerja manufaktur terus menurun sejak tahun 1980. Korea Selatan adalah pengecualian. Industri manufaktur di negara tersebut baru berkembang belakangan, dan mencapai puncaknya pada tahun 1990. Namun, mengikuti jejak negara-negara lain, industri manufaktur juga merosot setelah melewati masa kejayaannya.

Para bigot “revolusi industri 4.0” akan langsung nyerocos bahwa drastisnya penurunan persentase pekerja di sektor manufaktur disebabkan oleh maraknya penggunaan teknologi di bidang ini (saya juga pernah, sih). Ketika banyak pabrik yang sudah mulai menggunakan teknologi-teknologi otomatis, tentu mulai banyak pekerja manusia yang dikurangi. Asumsi ini keliru. Lapangan pekerjaan di sektor manufaktur semakin berkurang dan bahkan pabrik-pabrik memecat karyawannya karena output produksi semakin jeblok. Perusahaan-perusahaan manufaktur semakin kesulitan meningkatkan jumlah produksinya karena pasar semakin jenuh. Ini memang konsekuensi sistem ekonomi saat ini yang bergantung pada pertumbuhan terus-menerus.

Ketersediaan lapangan pekerjaan di sektor industri (ΔL) dapat dihitung dengan mengurangi peningkatan jumlah produk (ΔP) dengan peningkatan produktivitas pekerja (ΔK). Secara matematis dapat ditulis: ΔL = ΔP – ΔK. Semakin tinggi peningkatan jumlah produk, atau dengan kata lain pabrik-pabrik manufaktur semakin banyak memproduksi barang untuk dijual ke konsumen, maka lapangan pekerjaan semakin banyak tersedia, begitu juga sebaliknya. Di sisi lain, jika produktivitas pekerja semakin meningkat pesat, maka lapangan pekerjaan semakin sedikit, karena tenaga yang dibutuhkan juga berkurang untuk memproduksi jumlah barang tertentu. Dan begitupun sebaliknya. Selama empat dekade terakhir, dua faktor ini sama-sama mengalami penurunan. Namun, tingkat penurunan output produksi jauh lebih cepat. Hal ini dikarenakan sudah terlalu banyak barang yang diproduksi selama ini, sehingga lama-lama oversupply. 

Fakta inilah yang gagal dilihat oleh para penjaja “revolusi industri 4.0”. Bukannya melihat masalah hilangnya banyak pekerjaan sebagai konsekuensi dari perlambatan ekonomi, mereka malah senang berdongeng tentang disrupsi teknologi.

BUKAN TUJUAN PEKERJA

Sampai di sini dapat dilihat bahwa ide tentang UBI sudah keliru sejak tahap identifikasi masalah. Sehingga, jika diterapkan dan apalagi menjadi tujuan, UBI akan berdampak buruk bagi kelas pekerja. Efek terburuknya yaitu proses produksi akan tetap dikuasai oleh para pemilik modal besar (yang kini terkuak borok sistemnya dengan parahnya perlambatan ekonomi), yaitu deretan orang-orang terkaya di Indonesia. Mereka-mereka ini yang akan tetap menentukan barang dan jasa apa yang akan diproduksi, investasi akan diarahkan ke sektor mana, bagaimana sektor finansial dikelola, dan model distribusi seperti apa yang akan dikembangkan. Sementara pekerja diatur untuk tidak ikut campur. Cukup diam, terima UBI, dan berbahagialah. Maka tak heran, UBI mendapatkan banyak dukungan dari para elit global triliuner dunia, seperti Mark Zuckerberg, Elon Musk, Bill Gates, dan Richard Branson, serta politisi seperti Andrew Yang.

Selain itu, apabila diperhatikan perkembangannya, model UBI yang banyak dibahas saat ini lebih mengarah pada privatisasi berbagai sektor publik dan program-program sosial yang dikelola negara. Jadi nanti setelah semua orang diberi UBI, maka dana pendidikan, kesehatan, dan transportasi dikurangi, dengan alasan rakyat sudah punya uang. Juga bantuan-bantuan sosial yang telah diterapkan sejauh ini. Keterlibatan negara dalam mengurusi berbagai kepentingan publik semakin dikurangi. Semangat semacam ini sangat jelas dapat dilihat dalam status Facebook Mark Zuckerberg, yang berbicara tentang Permanent Fund Devidend (PFD) di Alaska. Di situ Mark bilang bahwa PFD bisa menjadi contoh model penerapan UBI, yakni dengan membagi langsung keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam kepada rakyat, ketimbang diserahkaan pada negara untuk dikelola.

Dalam melihat hal ini sebaiknya kita tidak terjebak untuk masuk dalam perdebatan apakah uang tersebut lebih baik dikelola negara (yah, dengan pengelolaan negara yang seperti saat ini, kita tentu akan menolak opsi ini) atau langsung diberikan pada rakyat. Inti permasalahannya di sini adalah, Mark sedang menghasut kita untuk menghindari cara-cara pengelolaan kapital/modal secara kolektif. Menurut Mark, biarkan tiap-tiap individu memilih sendiri untuk apa uang tersebut akan digunakan. Kesannya memang seperti sedang ingin memerdekakan banyak orang. Tapi sesungguhnya ia sedang ingin memutus ikatan-ikatan lain selain hubungan transaksi ekonomi, seperti solidaritas, kekeluargaan, dan gotong royong.

[mks_separator style=”blank” height=”10″]

PUSTAKA

Benanav, Aaron. 2019. Automation and The Future of Work. London: New Left Review

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan komentar